Sabtu, 20 Oktober 2012

Sunan Drajad



           Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mearisi ilmu dari ayahnya kemudian di perintah untuk berdakwah di sebelah Barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
           Raden mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu beliau tiba-tiba di hantam oleh ombak yang besar sehinga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwa, tapi bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepadanya. Dengan menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hinga ke tepi pantai.
           Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Belau juga berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat. Untuk itu beliau telah berpesan kepada anak keturunannya agar jangan sampai makan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada obatnya.
            Ikan talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Rden Qosim disambut masyarakat setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putra Sunan Ampel seorang wali besar dan masih terhitung kerabat keraton Majapahit.
             Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yaang datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 kilometer, di sana beliau mendirikan satu langgar untuk berdakwah.
             Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang sebut Dalem Duwur itulah sekarang di bangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Musium tersebut.
              Raden Qosim adalah pendukung aliran Putih yang di pimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku, beliau menganut jalan  lurus , jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama.
             Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah. Di dalam musium yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
            Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan. Dikalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong meraka yang menderita.


Ajaran Sunan Drajad
           Ajaran Sunan Drajad, bersumber dari:  (1). Al Qur'an, (2). Sunnah, (3). Ijma' (4). Qiyas, (5). ajaran guru dan pendidik Sunan Ampel atau orang tuanya, (6).ajaran dan pemikiran, atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat, (7) tradisi masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam, dan (8). Fatwa Sunan Drajad sendiri.
Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:

Menehono teken marang wong wuto
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kan mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang buta
Berilah makan kepada orang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan

             Adapun maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta) Sejahterakanlah kehidupan rakyat yang misin (kurang makan) Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada oarang yang tidak tahu malu atau belum punya beradapan tinggi,  Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingakt dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak keberatan untuk mengamalkannya..
             Tentang puncak ma'rifat Sunan Drajad menuliskan perumpamaannya sebagai berikut:
Ilang jenenge kawula,
sirna datang ana keri,
pan ilang wujudira,
tegese wujude widi
ilang wujude iki,
anenggih perlambangira,
Lir lintang karahinan,
itkasorodan sang hyang rawi,
artinya
hilang jati diri makluk,
lenyap tiada tersisa,
ulah juga wujud Tuhan,
itulah yang ada ini,
adapaun persamaannya,
seperti bintang di waktu siang
yang tersinari matahari
             Di samping terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau juga dikenal sebagai anggota wali songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan ikut pula mendirikan Masjid Demak. Simbol kebesaran umat islam pada waktu itu.
            Di bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending Pangkur. Hingga sekarang geding tersebut masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajad, demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggal disebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajad para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah SWT.





Sabtu, 13 Oktober 2012

Sunan Kudus



          Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini di sebelah untara kota Blora. Didalam Babad Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengait dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang bernama asli Ja'far Sodiq.
          Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka dari Raden Patah yang di bawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.
         Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakanya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan mengempur tentara Majapahit hingga belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.


Guru-Gurunya
           Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Jakfar Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang, dan Sunan Ampel.
          Nama asli Kiai Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jendral Cheng Hoo. Sebagaimana disebitkan dalam sejarah, Jendral Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
         Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.
         Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Jafar Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu.
         Jakfar Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengajar atau mencapai cita-cita. Hal ini beprengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Jakfar Sodiq di masa yang akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
         Selanjutnya Raden Jakfar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.


Cara berdakwah Yang Luwes
 A. Strategi Pendekatan Kepada Masa
             Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:

  1. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
  2. Bagian adat yang tidak sesuai denga ajaran Islam tetapi,
  3. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip.  Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
  4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
  5. Pada akhirnya  boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tidak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran agama Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim
         Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.
         Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromikan.


B. Merangkul Masyarakat Hindu
           Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukanya pekerjaan mudah. Terlebih mereka masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Jakfar Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
           Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumirang) . Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
           Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus.
           Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosayang dikutuk para dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
           Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat, yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melaukai hati rakyatnya sendiri.
          Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat,  baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
         "Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai",  Sunan Kudus membuka suara.  "Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya".
          Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar Sodiq itu titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya,  "Demi hormat saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi !"
           Kontan para penduduk terpesona atas kisa itu.
           Sunan Kudus melanjutkan.  "Salah satu diantara surat-surat Al Qur'an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al Baqarah, "kata Sunan Kudus
           Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di Al Qur'an mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
           Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagum orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendegarkan ceramah Sunan Kudus.


C.  Merangkul Masyarakat Budha
                Sudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha.  Caranya ?  Memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
            Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran di beri arca kepala Kebo Gumirang di atasnya. Hal ini sesuai dengan ajaran Budha "Jalan berlipat delapan" atau "Asta Sanghika Marga" yaitu:
  1. Harus memiliki pengetahuan yang benar
  2. Mengambil keputusan yang benar
  3. Berkata yang benar
  4. Hidup dengan cara yang benar
  5. Bekerja dengan benar
  6. Beribadah dengan benar
  7. Dan menghayati agama dengan benar
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat wudhu. Sehingga mereka berdatangan ke Masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.


D. Selamatan Mitoni
             Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
             Seperti diketahui, rakyat Jawa banyak yang melakukan adat adat aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan yaitu untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islam. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
           Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
          Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan di arahkan dalam bentuk Islam. Acara Selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh di bawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunya Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dam ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al Qur'an.
           Sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya' atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya' yang berbentuk tembang Asmaradana, Pucung dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.

           Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian di ikrarkan (hajatkan di hajatkan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesaji tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.
          Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
          Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangan di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Ini kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat tapi aibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya?  Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.
          Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
          Cerita tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan undangn maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi syarat yang di ajukan Sunan Kudus yaitu dengan nada berang.  "Apa kekurangan mereka?"
         "Anda sendiri yang menyebabkan, "kata Jakfar Sodiq dengan tenang nya.  Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak iklas. Mereka berdoa hanya karena mengaharap hadiah."
          Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu
          Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.

          Bukan main senangnya hati sang Amir, rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Jakfar Sodiq.
          Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untukmenentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibanggunnya di namakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
           Membasuh kaki dan tangannya lebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliau yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Dan dalam tembang-tembang tersebut beliau sisispkan ajaran-ajaran Islam.


E. Sunan Kudus di Negeri Mekah
          Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.Sewaktu berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar di atas. Penguasa Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
         Sudah banyak orang mencoba tapi tak pernah berhasil.
         Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangnnya disambut dengan sinis.

"Dengan apa Tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu ?" tanya sang Amir
"Dengan doa, "jawab Jakfar Sodiq singkat.
"Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukkannya. Di tanah Arab ini banyak ulama dan Syekh-Syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini."
           Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga do'a mereka tidak terkabulkan, "kata Jakfar Sodiq.
          Sungguh berani Tuan berkata demikian,  "kata Amir itu dengan nada berang.
"Apa kekurangan mereka?"
"Anda sendiri yang menyebabkannya,  "kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya.   Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata  hati mereka sehingga doa mereka tidak iklhas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah."
          Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara kkhusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di Negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.
          Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikan bermaksud diberikan kepada Jakfar Sodiq.
Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang  bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.



Kamis, 11 Oktober 2012

Sunan Kalijaga



Diusir Dari Kadipaten
         Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Walatikta. Tumenggung Walitikta sering kali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi raden  Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
        Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
        Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum penjabat Kdipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
        Rakyat  yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadang kala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
        Walau Raden Said  putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terkait oleh adanya adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk-beluk kehidupan rakyat Tuban.
        Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. tapi niat itu tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur'an maka sekarang dia keluar rumah.
        Disaat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sengat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
        Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu sebab Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
        Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu mekin berkurang.
        Ia ingin mengetahuinya sendiri siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
        Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungnnya sendiri.

        Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
      Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal katahuan. ketika ia hendak keluar gudang sambil membawa bahan-bahan makanan , tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said di bawa ke hadapan ayahnya.
       Adipati Walatikta marah melihat perbuatan anaknya itu.  Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.
       Tapi untuk itu Raden Said harus menadapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah.  Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?

        Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?
       Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan penjabat Kadipaten yang curang.
       Hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi karena perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
       Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta penjabat kaya, kemudian pemimpin perampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
      Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya' mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang gadis cantik.
         Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.
         Raden Said berusaha mengakap perampok itu. Namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri . Mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itu si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden said pun menjadi panik dan kebungungan. para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa kerumah kepala desa.
          Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang di balik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam.
          Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungnnya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosanya adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
         Sang kepala desa masih berusaha menutupi aib junjungnnya. Diam-diam ia di membawa raden Said ke istana kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak.
         Tentu saja Adipati menjadi murka. raden Said yang selama ini selalu sayang dan selalu membela anaknya kali membuat naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.

         Pergi dari Kadipaten Tuban ini !.  Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! Pergi !  Jangan   kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur'an yang sering kau baca di malam hari !"
         Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah mentup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang Adipati.
         Hanya ada satu orang yang tidak mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayahnya dan ibunya, dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.


Mencari Guru Sejati
          Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban?  Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman.  Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu , selalu diberikan kepada fakir miskin.
         Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, taidak menyantuni rakyat jelata dan tidak mau membayar zakat.
         Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada orang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
         Terus diawasinya orang berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutlah tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkatnya dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu terjatuh tersungkur.
         Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkialuan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkanya kembali tongkat itu,  "Jangan menangis, ini tongkat mu kukembalikan".
         "Bukan tongkat ini yang ku tangisi", ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya.  "Lihatlah!  Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi".

         "Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?" tanya Raden Said heran.
"Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata kucabut guna makan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!" jawab lelaki itu
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
"Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?"
"Saya menginginkan harta?"
"Untuk apa?"
"Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita".    "Hem, sungguh mulia hatimu, Sayang ...caramu mendapatkan-nya yang keliru".
"Boleh aku bertanya anak muda?" desah orang tua itu,   "Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?"
"Sungguh perbuatan bodoh", sahut Raden Said.  "Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja".
Lelaki itu tersenyum,  "Demikian pula amal yang kau lakukan.  Kau bersedekah dengan yang di dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing."

        Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapanya, "Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal."
       Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa kelirunya perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan Berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
       "Banyak hal yang terkait dalam usaha mengetaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuna mkan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memberi memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!".
        Raden Said semakin terpana ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.  "Kalau kau tidak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!".

         Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak.  Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapinya. Berbagai ilmu aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu menggunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
         Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga mampu merubah pohon aren berubah menjadi emas?
         Selama beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas berkilauan itu.  Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
         Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
         Ucapan orang  itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
         Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
         Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
         Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tempaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
"Tunggu .."ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
"Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid .." pintanya.
"Menjadi muridku ?"tanya orang itu sembari menoleh. " Mau belajar apa ?"
"Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid ".
"Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya ?".

          Lelaki itu kemudian menancapkan tingkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan untuk menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum sebelum lelaki itu kembali menemuinya.
          Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi dan mungkin saja golongan para wali.
          Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said , pemuda itu duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur'an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdo'a kepada Tuhan supaya di tidurkan seperti pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
         Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tidak bisa di bangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya.

         Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian di bawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban?  Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian di beri pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
        Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
        Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan kehidupan.
        Raden Said disuruh menunggui tongkat itu atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
       Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.



Kerinduan Seorang Ibu
        Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Walatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati Ibu Raden Said seketika berguncang.
         Kebetulan setelah ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala rampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkar sudah. Dari pengakuan perampok itu tahuah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
         Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
        Untuk mengobati kerinduan sang ibu. Tak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi yaitu membaca Al Qur'an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.
         Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-ptrin yang sangat dicintainya itu.
         Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan Aipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dengan Empu Supa.
         Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan agama ISlam Di Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru Suci seTanah Jawa, dari petani, penjabat, bangsawan dan raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap Islami.
        Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.  Semoga amal perjuangnya diterima di sisi Allah.






Minggu, 30 September 2012

Sunan Bonang



Asal Usulnya
        Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
        Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja Majapahit.
         Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama  se Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
         Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
         Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu negeri Pasai. keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran.
          Sesudah belajar di Negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
          Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.


Bijak Dalam Berdakwah
           Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setemapat.
           Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.
           Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyilkan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
           Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agam Islam kepada mereka.
           Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.


Karya Sastra
           Baliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
           Suluk berasal dari bahasa Arab  'Salakattariiqa'  artinya menempuh jalan (tasawwuf) atau tirakat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diuangkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.
         

Kuburannya Ada Dua
           Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita segera tersebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan terakhir.
          Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan jenazah beliau di pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahhandanya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
         Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu.
        Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya. tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazah tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami' Tuban.
        Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh kidmat.
        Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. dengan demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya. Sunan Bonang  wafat tahun 1525.  makam yang dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.



Rabu, 26 September 2012

Sunan Giri II




Perkawinan Raden paku
         Al-kisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
         Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata, "Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah."
         Memang Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
         "Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya iyu, " demikian kata Sunan Ampel.
         "Tapi ..bukan saya hendak menikah dengan putri kanjeng Sunan yaitu dengan Dewi Murtasiah?"ujar Raden Paku.
"Tidak mengapa?" kata Sunan Ampel. "Sesudah melangsungkan akad nikah Dewi Murtasiah selanjunya kau akan melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah.
           Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makam nya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara.
          Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan Pondok Pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.
         Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. Andaikata hartanya banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepas Raden Paku yang hendak mendirikan Pesantren.
        Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.

       Usai bertafakur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari Negeri Pasai.
       Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang ia bawa dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah daratan tinggi atau gunung maka dinamakan Pesantren Giri. Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung.
       Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel, tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
Di muka telah disebutkan bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara.
     
         Menurut Dr. H.J De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke Negeri Pasai,  ia memperkenalkan diri kepada dunai, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri kedaton (kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
         Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah pengambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukkan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau membangun asrama yang luas.
         Disekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.



Peresmian Masjid Demak
          Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
          Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
          Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari Jum'at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum'at.
          Suna Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarnya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang.
          Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hayang Girinata, yang artinya Sunan Giri yang menata.
         Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan shalat Jum'at, kemudian diteruskan dengan pertunjukan wayang kulit yang dimainkan ki Dalang Sunan Kalijaga.


Jasa-jasa Sunan Giri
         Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
         Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang diangap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama'ah.
          Keteguhan dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan atau adat istiadat lama.
          Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang  dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain; Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
          Diantara permainan anak-anak yang dicintainya ialah sebagai berikut : Diantara anak-anak  yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggak atau batang pohon yang telah di tentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.
          Sembari melakukan permainan yang disebut Jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
"Padhang-padhang bulan, ayo gege dha dolanan,
dholanane na ing latar,
ngalap padhang gilar-gilar,
nudhung begog hangetikar."
"(Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)."
Maksud lagu dolanan tersebut ialah:
"Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.


Para Pengganti Sunan Giri
          Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintah kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
          Pengaruh Sunan Giri ini sangat besar terhadap kerajaan Islam di Jawa maupun luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seseorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan dari Sunan Giri.
          Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau diagantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sidomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Penembahan Ageng Giri
6. Penembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
             Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu VOC dan Kapten Jonker. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar, wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.





Selasa, 25 September 2012

Sunan Giri



            Di awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.
            Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sesudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
            Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pagebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran badad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
           Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
          Permaisuri makin sedih hatinya, Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari petapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.
          Diiringi  beberapa prajurit pilihan, Patih Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para petapa biasanya tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
          Patih Bajil Sengara akhirnya betemu dengan Resi Kanabaya yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksut adalah Syekh maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan.

         Patih Bajul Sangara dapat bertemu dengan Syekh Maulana  Ishak yang sedang bertafakur di sebuah goa. Stelah terjadi negoisasi bahwa Raja dan Rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama islam maka Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang ilmu ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pagebluk juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
     

Hasutan Sang Patih
           Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
           Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Parabu sudah mengadakan teror pada Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk kadipaten yang di pimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali ke agama lama. Walaupun kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
           Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk meninggalkan Blambangan.
           Demikian, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar parjurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara segera menerobos masuk Wilayah kadipaten yang sudah ditinggalkn Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih kecele walau seluruh istana di obrak-abrik dia tidak menemukan Syekh Maulana Ishak.
           Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya meresa senang dan bahagia melihat kehadiran cucu yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain dari yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.
           Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkan bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara bikin ulah lagi.
           "Bayi itu! Benar gusti Prabu!  Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu! " kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
            Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tidak bosan-bosannya menteroro dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Parbu terpengaruh juga.
            Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk di buang ke samodra.


Joko Samodra
             Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintas selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
             Nahkoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkin perahunya membentuk batu karang. Setelah di periksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan meyimpan barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Di atas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang tuanya yang tega membuang bayi ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperikemanusiaan.
            Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan  pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu  tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu di putar dan diarahkan ke Gresik teryata perahu itu melaju dengan pesatnya.
             Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal nakoda berkata sambil membuka peti itu. "Peti ini yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,"  kata sang nakoda.
"Bayi ...? Bayi siapa ini, "gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
"Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali, jawab nahkoda kapal.
             Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra.
             Ketika umur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rhamat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Sampdra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Amel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentransi dalam mempelajari agama Islam.

             Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahajjud, mendo'akan murid-muridnya dan mendoakan umat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
            Tiba-tiba Radhen Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.
             Esok harinya, sesudah sholat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
"Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?"  tanya Sunan Ampel.
"Saya kanjeng Sunan ..." acung Joko Samodra.
             Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makain yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra.
            Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di temukan di tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih.
            Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat di hormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.


Raden Paku
         Sewaktu mondok di Pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
        Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman.
Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.
         Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira , penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tek pernah melihat anaknya sejak bayi.
         Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinantih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
         Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya saat berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
         Di Negeri Pasai banyak ulama besar dari negara asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainya.
         Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Di samping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.

        Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga ketara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana A'inul Yaqin.
        Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberikan sebuah bungkusan kain putih  berisi tanah.
       "Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun Pesantren, "Demikian pesan ayahnya.
        Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Piantih.


Membersihkan Diri
        Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
       Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintahkan membawa barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah kapal merapat ke Pulau Banjar, Raden Paku membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
       Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, "Raden kita pasti akan mendapatkan murka Nyai Ageng Pinantih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?"
       "Jangan kuatir Paman, tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkan ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka?. Saya kira belum, nah sekarang lah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri", kata Raden Paku.
        "Itu diluar wewenang saya Raden, "kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng di hantam ombak dan badai?"
         Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
         "Paman tak usah risau, "kata Raden Paku dengan tenangnya. "Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
          Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih.

          Dugaan Abu Hurairah memang tepat. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.
"Sebaiknya ibu lihat lebih dahulu!" pinta Raden Paku.
"Sudah, jangan banyak bicara , buang saja pasir dan batu itu.Hanya mengotori karung-karung kita saja!" hardik Nyai Ageng Pinatih.
         Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, seperti rotan, damar, kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.



Sabtu, 08 September 2012

Sunan Ampel




       Kenalkah anda dengan daerah Bukhara?, Bukhara terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah yang Samarqand dikenal sebagai daerah islam yang  menelorkan "Ulama-ulama" besar seperti sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadist sahih.
       Di Samarqand ini ada ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi'i, beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Smarqand maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Oranh jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
      Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jumalluddin Jumadil Kubra untuk berdak'wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, beliau kemudian diambil menantu oleh Raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.

     Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan. Para pangeran atau bangsawan kerajaan, pada waktu itu mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat menjadi Raden.
       Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
       Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden  Hasan atau lebih dikenal dengan Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.

     Sesudah kerajaan Majapahit ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Brawijaya Kartabumi.
      Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukkan. Prabu Brawijaya sadar betul apabila kebiasaan semacam itu diteruskan maka negara akan menjadi lemah, jika negara sesudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
       Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada suaminya. "Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam mengatasi kemerosotan budi pekerti, " kata ratu Dwarawati
"Betulkah ?" tanya sang prabu.
"Ya, namanya Sayyid Rahmatullah, putra dari Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini."
       "Tentu saja aku merasa senang bila Rama Prabu Cempa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini." kata Raja Brawijaya.


2.  Ke Tanah Jawa
        Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke Negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira Raja Cempa dan dia tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
        Keberangkatan Sayyid Ali  ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asamarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat ke Tuban. Tetapi Tuban, tepatnya di Desa Gresikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk Kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
       Kemudian Sayyid Murtadho meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat sebutan Raja Pandita Bima, dan akhirnya beliau berdak'wah di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.

      Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatangnya disambut dengan suka cita oleh Prabu Kartabumi, lebih-lebih lagi oleh bibinya yang bernama Ratu Dwarawati, wanita ini memeluknya erat-erat, seolah sedang memeluk kakak perempuannya  yang berada di istana Cempa. Wajah keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya.
       "Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?" tanya sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab, "Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.
      "Bagus!" sahut sang Prabu. Bila demikian kau akan ku beri hadiah sebidang tanah dan bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar memiliki budi pekerti yang mulia."
       "Terima saya haturkan Gusti Prabu," jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di sitana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja majapahit.
       Semenjak Sayyid Ali RAhmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah angota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden yang berarti tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
 

3.  Ampeldenta
          Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut sebagai Ampeldenta.
         Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo, terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwahnya yang pertama kali dilakukanya cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarnya dengan kalimat syahadat.
        Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang. terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada saat demikian ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesui tingkatan pemahaman mereka.
      Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning. Pada saat itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas sekarang ini. Di sana-sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahnya Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dam mendirikan tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut sekarang telah diubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.
        Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu, Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.
        Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit-demi sedikit tentang pentingnya    ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
        Setelah sampai di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah, ini meneladani apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw saat pertama kali di Madinah.
        Dan karena beliau menetap di Desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut, kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan, artinya Yang di Junjung Tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi.
        Selanjutnya beliau mendirikan Pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa sja yang mau datang berguru kepada beliau.


4.  Ajarannya Yang Terkenal
         Hasil didikan beliau yang terkenal adalah Falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu:
1.  Moh Main atau tidak mau berjudi
2.  Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukkan
3.  Moh Maling atau tidak mau mencuri
4.  Moh Madat atau tidak menghisap candu, ganja dan lain-lainnya
5.  Moh Madon atau tidak mau berzina/ main perempuan yang bukan istrinya.

       Parabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang terakhir di Majapahit.
       Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh Wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmat juga memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.


5.  Sesepuh Walisongo
          Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pimpinan agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.
          Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Songo mengantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak Majapahit.

         Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar itu sesungguhnya sudak keropos dari dalam, tidak usah diserang oleh Demak Bintoro pun sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel terlalu lamban dalam memberikan nasihat kepada Raden Patah.
         "Mengapa Ramanda berpendapat demikian?" tanya Raden Patah yang terhitung menantunya sendiri. "Karena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putra Raja Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani menyerang ayahhandanya sendiri," jawab Sunan Ampel dengan tenang.
         "Lalu apa yang harus kita lakukan?"
         "Kau harus bersabar menunggu sembari menyusun kekuatan", ujar Sunan Ampel."  Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari dalam. Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku putra Prabu Kertabumi.
         "Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkewajiban membelanya?"
"Inilah ketentuan Tuhan", sahut Sunan Ampel." Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah peristiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu," kata Sunan Ampel. Karena Sunan Ampel adalah Penasehat Politik Demak Bintoro, dan merangkap sebagai Pimpinan Wali Songo atau Mufti agama se-Tanah Jawa. Maka fatwanya dipatuhi semua orang.
          Kekuatan Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di kemudian hari ternyata ada orang-orang yang membenci Islam, memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majaphit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang Rajanya adalah putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini dapat anda lihat di dalam Serat Darmo Gandul maupun sejarah yang tertulis Sarjana Kristen pembenci Islam.
          Raden Patah dan para wali lainya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali dan pemimpin agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia menyetujui usul Aliran Tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
         Mengapa Sunan Giri bersikap demikian?
         Karena pada tahun 1478 Kerajaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardana dari Kadipaten Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putra Raja Majapahit yang terakhir.

          Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang Prabu Udara pada tahun 1498.
          Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukanya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi peperangan akan menderita kekalahan maka dia minta kerjasama dan minta bantuan Portigis di Malaka. Padahal Putra Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun 1511 telah menyerang Portugis di Malaka.
         Sejarah telah mencatat Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk menemui Alfonso d'Albuquerque untuk menyerahkan hadiah 20 genta (gamelan), sepotong kain panjang bernama   "Beirami"   tenunan Kambayat, 13batang lembing yang ujungnya berisi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang, Prabu Udara sebagai pimpinan perampas tahta Majapahit secara tidah sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit, tentu bangsa Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat dari pada bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya. Raden Patah diangkat sebagai Raja Demak yang pertama.
        Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama Masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

        Beliau pula yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon atau Tulisan Arab berbunyi Bahasa Jawa. Dengan huruf Pegon ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga sekarang huruf Pegon tetap dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan Pesantren.



6.  Penyelamat Aqidah
             Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini di dukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah diusulkan dalam permusyawaratan para Wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat-istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel. "Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid'ah?.
             Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, "Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa kemudian hari akan ada orang yang menyempurnakannya.
            Adanya dua pendapat yang seakan betentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit-demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.

          Sebaiknya, adanya pendapa Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid'ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.
          Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.


7.  Murid-Murid Sunan Ampel
             Sebagaimana disebutkan di muka murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Wali Songo adalah murid-murid beliau sendiri.
             Kali ini kami tampilkan kisah dua orang murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:


Kisah Mbah Soleh
           Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan luar biasa.
           Ada sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia di kubur hingga sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Di sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah Soleh.
            Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu Masjid Ampel dimasa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di Masjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya.
            Ketika Mbah Soleh wafat beliau di kubur di depan masjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai masjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh masjid itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel, " Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih."
           Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seleuruh lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.
           Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikuburkan di samping kuburanya yang dulu. Masjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu, Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan kuburan yang terakir berada di ujung paling timur.
         Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdoa di depan makam Mbah Soleh.


Kisah Mbah Sonhaji
             Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya?  Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokkan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah luar biasa.
             Kisahnya demikian. Pada waktu pembangunan Masjid Agung Ampel, Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman masjid itu tidak menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan paengimaman itu jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya.
             "Apa betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?"   demikian tanya orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji.
             Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata,  "Lihatlah ke lubang ini, kalian akan tau apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?".
             Oarang-orang itu segera melihat ke lubang yang dibuat Sonhaji. Tenyata di lubang itu mereka dapat melihat Ka'bah yang berada di Mekah. Orang-orang pada melongo, terkejut , kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Sonhaji lagi. Dan sejak saat itu mereka bersikap hormat kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.




Selesai_