Minggu, 30 September 2012

Sunan Bonang



Asal Usulnya
        Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
        Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja Majapahit.
         Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama  se Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
         Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
         Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu negeri Pasai. keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran.
          Sesudah belajar di Negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
          Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.


Bijak Dalam Berdakwah
           Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setemapat.
           Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.
           Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyilkan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
           Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agam Islam kepada mereka.
           Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.


Karya Sastra
           Baliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
           Suluk berasal dari bahasa Arab  'Salakattariiqa'  artinya menempuh jalan (tasawwuf) atau tirakat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diuangkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.
         

Kuburannya Ada Dua
           Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita segera tersebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan terakhir.
          Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan jenazah beliau di pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahhandanya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
         Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu.
        Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya. tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazah tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami' Tuban.
        Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh kidmat.
        Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. dengan demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya. Sunan Bonang  wafat tahun 1525.  makam yang dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.



Rabu, 26 September 2012

Sunan Giri II




Perkawinan Raden paku
         Al-kisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
         Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata, "Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah."
         Memang Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
         "Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya iyu, " demikian kata Sunan Ampel.
         "Tapi ..bukan saya hendak menikah dengan putri kanjeng Sunan yaitu dengan Dewi Murtasiah?"ujar Raden Paku.
"Tidak mengapa?" kata Sunan Ampel. "Sesudah melangsungkan akad nikah Dewi Murtasiah selanjunya kau akan melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah.
           Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makam nya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara.
          Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan Pondok Pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.
         Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. Andaikata hartanya banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepas Raden Paku yang hendak mendirikan Pesantren.
        Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.

       Usai bertafakur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari Negeri Pasai.
       Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang ia bawa dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah daratan tinggi atau gunung maka dinamakan Pesantren Giri. Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung.
       Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel, tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
Di muka telah disebutkan bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara.
     
         Menurut Dr. H.J De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke Negeri Pasai,  ia memperkenalkan diri kepada dunai, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri kedaton (kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
         Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah pengambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukkan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau membangun asrama yang luas.
         Disekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.



Peresmian Masjid Demak
          Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
          Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
          Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari Jum'at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum'at.
          Suna Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarnya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang.
          Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hayang Girinata, yang artinya Sunan Giri yang menata.
         Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan shalat Jum'at, kemudian diteruskan dengan pertunjukan wayang kulit yang dimainkan ki Dalang Sunan Kalijaga.


Jasa-jasa Sunan Giri
         Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
         Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang diangap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama'ah.
          Keteguhan dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan atau adat istiadat lama.
          Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang  dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain; Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
          Diantara permainan anak-anak yang dicintainya ialah sebagai berikut : Diantara anak-anak  yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggak atau batang pohon yang telah di tentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.
          Sembari melakukan permainan yang disebut Jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
"Padhang-padhang bulan, ayo gege dha dolanan,
dholanane na ing latar,
ngalap padhang gilar-gilar,
nudhung begog hangetikar."
"(Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)."
Maksud lagu dolanan tersebut ialah:
"Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.


Para Pengganti Sunan Giri
          Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintah kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
          Pengaruh Sunan Giri ini sangat besar terhadap kerajaan Islam di Jawa maupun luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seseorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan dari Sunan Giri.
          Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau diagantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sidomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Penembahan Ageng Giri
6. Penembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
             Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu VOC dan Kapten Jonker. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar, wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.





Selasa, 25 September 2012

Sunan Giri



            Di awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.
            Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sesudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
            Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pagebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran badad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
           Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
          Permaisuri makin sedih hatinya, Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari petapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.
          Diiringi  beberapa prajurit pilihan, Patih Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para petapa biasanya tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
          Patih Bajil Sengara akhirnya betemu dengan Resi Kanabaya yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksut adalah Syekh maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan.

         Patih Bajul Sangara dapat bertemu dengan Syekh Maulana  Ishak yang sedang bertafakur di sebuah goa. Stelah terjadi negoisasi bahwa Raja dan Rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama islam maka Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang ilmu ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pagebluk juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
     

Hasutan Sang Patih
           Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
           Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Parabu sudah mengadakan teror pada Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk kadipaten yang di pimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali ke agama lama. Walaupun kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
           Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk meninggalkan Blambangan.
           Demikian, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar parjurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara segera menerobos masuk Wilayah kadipaten yang sudah ditinggalkn Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih kecele walau seluruh istana di obrak-abrik dia tidak menemukan Syekh Maulana Ishak.
           Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya meresa senang dan bahagia melihat kehadiran cucu yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain dari yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.
           Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkan bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara bikin ulah lagi.
           "Bayi itu! Benar gusti Prabu!  Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu! " kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
            Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tidak bosan-bosannya menteroro dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Parbu terpengaruh juga.
            Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk di buang ke samodra.


Joko Samodra
             Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintas selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
             Nahkoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkin perahunya membentuk batu karang. Setelah di periksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan meyimpan barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Di atas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang tuanya yang tega membuang bayi ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperikemanusiaan.
            Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan  pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu  tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu di putar dan diarahkan ke Gresik teryata perahu itu melaju dengan pesatnya.
             Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal nakoda berkata sambil membuka peti itu. "Peti ini yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,"  kata sang nakoda.
"Bayi ...? Bayi siapa ini, "gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
"Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali, jawab nahkoda kapal.
             Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra.
             Ketika umur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rhamat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Sampdra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Amel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentransi dalam mempelajari agama Islam.

             Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahajjud, mendo'akan murid-muridnya dan mendoakan umat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
            Tiba-tiba Radhen Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.
             Esok harinya, sesudah sholat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
"Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?"  tanya Sunan Ampel.
"Saya kanjeng Sunan ..." acung Joko Samodra.
             Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makain yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra.
            Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di temukan di tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih.
            Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat di hormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.


Raden Paku
         Sewaktu mondok di Pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
        Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman.
Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.
         Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira , penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tek pernah melihat anaknya sejak bayi.
         Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinantih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
         Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya saat berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
         Di Negeri Pasai banyak ulama besar dari negara asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainya.
         Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Di samping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.

        Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga ketara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana A'inul Yaqin.
        Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberikan sebuah bungkusan kain putih  berisi tanah.
       "Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun Pesantren, "Demikian pesan ayahnya.
        Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Piantih.


Membersihkan Diri
        Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
       Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintahkan membawa barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah kapal merapat ke Pulau Banjar, Raden Paku membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
       Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, "Raden kita pasti akan mendapatkan murka Nyai Ageng Pinantih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?"
       "Jangan kuatir Paman, tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkan ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka?. Saya kira belum, nah sekarang lah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri", kata Raden Paku.
        "Itu diluar wewenang saya Raden, "kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng di hantam ombak dan badai?"
         Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
         "Paman tak usah risau, "kata Raden Paku dengan tenangnya. "Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
          Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih.

          Dugaan Abu Hurairah memang tepat. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.
"Sebaiknya ibu lihat lebih dahulu!" pinta Raden Paku.
"Sudah, jangan banyak bicara , buang saja pasir dan batu itu.Hanya mengotori karung-karung kita saja!" hardik Nyai Ageng Pinatih.
         Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, seperti rotan, damar, kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.



Sabtu, 08 September 2012

Sunan Ampel




       Kenalkah anda dengan daerah Bukhara?, Bukhara terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah yang Samarqand dikenal sebagai daerah islam yang  menelorkan "Ulama-ulama" besar seperti sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadist sahih.
       Di Samarqand ini ada ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi'i, beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Smarqand maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Oranh jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
      Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jumalluddin Jumadil Kubra untuk berdak'wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, beliau kemudian diambil menantu oleh Raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.

     Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan. Para pangeran atau bangsawan kerajaan, pada waktu itu mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat menjadi Raden.
       Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
       Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden  Hasan atau lebih dikenal dengan Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.

     Sesudah kerajaan Majapahit ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Brawijaya Kartabumi.
      Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukkan. Prabu Brawijaya sadar betul apabila kebiasaan semacam itu diteruskan maka negara akan menjadi lemah, jika negara sesudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
       Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada suaminya. "Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam mengatasi kemerosotan budi pekerti, " kata ratu Dwarawati
"Betulkah ?" tanya sang prabu.
"Ya, namanya Sayyid Rahmatullah, putra dari Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini."
       "Tentu saja aku merasa senang bila Rama Prabu Cempa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini." kata Raja Brawijaya.


2.  Ke Tanah Jawa
        Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke Negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira Raja Cempa dan dia tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
        Keberangkatan Sayyid Ali  ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asamarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat ke Tuban. Tetapi Tuban, tepatnya di Desa Gresikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk Kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
       Kemudian Sayyid Murtadho meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat sebutan Raja Pandita Bima, dan akhirnya beliau berdak'wah di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.

      Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatangnya disambut dengan suka cita oleh Prabu Kartabumi, lebih-lebih lagi oleh bibinya yang bernama Ratu Dwarawati, wanita ini memeluknya erat-erat, seolah sedang memeluk kakak perempuannya  yang berada di istana Cempa. Wajah keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya.
       "Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?" tanya sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab, "Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.
      "Bagus!" sahut sang Prabu. Bila demikian kau akan ku beri hadiah sebidang tanah dan bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar memiliki budi pekerti yang mulia."
       "Terima saya haturkan Gusti Prabu," jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di sitana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja majapahit.
       Semenjak Sayyid Ali RAhmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah angota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden yang berarti tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
 

3.  Ampeldenta
          Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut sebagai Ampeldenta.
         Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo, terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwahnya yang pertama kali dilakukanya cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarnya dengan kalimat syahadat.
        Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang. terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada saat demikian ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesui tingkatan pemahaman mereka.
      Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning. Pada saat itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas sekarang ini. Di sana-sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahnya Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dam mendirikan tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut sekarang telah diubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.
        Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu, Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.
        Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit-demi sedikit tentang pentingnya    ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
        Setelah sampai di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah, ini meneladani apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw saat pertama kali di Madinah.
        Dan karena beliau menetap di Desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut, kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan, artinya Yang di Junjung Tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi.
        Selanjutnya beliau mendirikan Pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa sja yang mau datang berguru kepada beliau.


4.  Ajarannya Yang Terkenal
         Hasil didikan beliau yang terkenal adalah Falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu:
1.  Moh Main atau tidak mau berjudi
2.  Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukkan
3.  Moh Maling atau tidak mau mencuri
4.  Moh Madat atau tidak menghisap candu, ganja dan lain-lainnya
5.  Moh Madon atau tidak mau berzina/ main perempuan yang bukan istrinya.

       Parabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang terakhir di Majapahit.
       Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh Wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmat juga memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.


5.  Sesepuh Walisongo
          Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pimpinan agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.
          Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Songo mengantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak Majapahit.

         Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar itu sesungguhnya sudak keropos dari dalam, tidak usah diserang oleh Demak Bintoro pun sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel terlalu lamban dalam memberikan nasihat kepada Raden Patah.
         "Mengapa Ramanda berpendapat demikian?" tanya Raden Patah yang terhitung menantunya sendiri. "Karena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putra Raja Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani menyerang ayahhandanya sendiri," jawab Sunan Ampel dengan tenang.
         "Lalu apa yang harus kita lakukan?"
         "Kau harus bersabar menunggu sembari menyusun kekuatan", ujar Sunan Ampel."  Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari dalam. Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku putra Prabu Kertabumi.
         "Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkewajiban membelanya?"
"Inilah ketentuan Tuhan", sahut Sunan Ampel." Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah peristiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu," kata Sunan Ampel. Karena Sunan Ampel adalah Penasehat Politik Demak Bintoro, dan merangkap sebagai Pimpinan Wali Songo atau Mufti agama se-Tanah Jawa. Maka fatwanya dipatuhi semua orang.
          Kekuatan Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di kemudian hari ternyata ada orang-orang yang membenci Islam, memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majaphit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang Rajanya adalah putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini dapat anda lihat di dalam Serat Darmo Gandul maupun sejarah yang tertulis Sarjana Kristen pembenci Islam.
          Raden Patah dan para wali lainya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali dan pemimpin agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia menyetujui usul Aliran Tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
         Mengapa Sunan Giri bersikap demikian?
         Karena pada tahun 1478 Kerajaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardana dari Kadipaten Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putra Raja Majapahit yang terakhir.

          Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang Prabu Udara pada tahun 1498.
          Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukanya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi peperangan akan menderita kekalahan maka dia minta kerjasama dan minta bantuan Portigis di Malaka. Padahal Putra Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun 1511 telah menyerang Portugis di Malaka.
         Sejarah telah mencatat Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk menemui Alfonso d'Albuquerque untuk menyerahkan hadiah 20 genta (gamelan), sepotong kain panjang bernama   "Beirami"   tenunan Kambayat, 13batang lembing yang ujungnya berisi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang, Prabu Udara sebagai pimpinan perampas tahta Majapahit secara tidah sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit, tentu bangsa Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat dari pada bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya. Raden Patah diangkat sebagai Raja Demak yang pertama.
        Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama Masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

        Beliau pula yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon atau Tulisan Arab berbunyi Bahasa Jawa. Dengan huruf Pegon ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga sekarang huruf Pegon tetap dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan Pesantren.



6.  Penyelamat Aqidah
             Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini di dukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah diusulkan dalam permusyawaratan para Wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat-istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel. "Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid'ah?.
             Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, "Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa kemudian hari akan ada orang yang menyempurnakannya.
            Adanya dua pendapat yang seakan betentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit-demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.

          Sebaiknya, adanya pendapa Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid'ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.
          Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.


7.  Murid-Murid Sunan Ampel
             Sebagaimana disebutkan di muka murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Wali Songo adalah murid-murid beliau sendiri.
             Kali ini kami tampilkan kisah dua orang murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:


Kisah Mbah Soleh
           Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan luar biasa.
           Ada sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia di kubur hingga sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Di sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah Soleh.
            Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu Masjid Ampel dimasa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di Masjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya.
            Ketika Mbah Soleh wafat beliau di kubur di depan masjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai masjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh masjid itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel, " Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih."
           Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seleuruh lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.
           Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikuburkan di samping kuburanya yang dulu. Masjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu, Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan kuburan yang terakir berada di ujung paling timur.
         Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdoa di depan makam Mbah Soleh.


Kisah Mbah Sonhaji
             Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya?  Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokkan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah luar biasa.
             Kisahnya demikian. Pada waktu pembangunan Masjid Agung Ampel, Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman masjid itu tidak menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan paengimaman itu jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya.
             "Apa betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?"   demikian tanya orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji.
             Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata,  "Lihatlah ke lubang ini, kalian akan tau apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?".
             Oarang-orang itu segera melihat ke lubang yang dibuat Sonhaji. Tenyata di lubang itu mereka dapat melihat Ka'bah yang berada di Mekah. Orang-orang pada melongo, terkejut , kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Sonhaji lagi. Dan sejak saat itu mereka bersikap hormat kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.




Selesai_


Kamis, 06 September 2012

Syekh Maulana Malik Ibrahim




        Jauh sebelum Maulana Ibrahim datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di Desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriah atau pada tahun 1082 M. Jadi, sebelum jaman Wali Songo, islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leran. Tetapi islam pada masa itu belum berkembang secara besar-besaran.
       Maulana Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk  setempat sebagai kakek Bantal itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419 M.
       Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagai rakyat Gresik sudah ada yang beragama islam akan tetapi masih banyak yang beragama Hindu. Bahkan ada yang tidak beragama sama-sekali.
       Dalam dakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al Qur'an yaitu:
                   "Hendaknya engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya.  (QS An Nahl 125)

       Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara di Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan penduduk nya beragama Hindu.
      Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman orang-orang islam bercampur dengan kegiatan musyrik. Caranya, beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang  salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad Saw.
     
        Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si kakek Bantal, penolong fakir miskin yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
       Keterangan yang tertulis di makamnya ialah sebagai berikut kuburan itu. "Inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para pangeran, sendi para sultan, dan menteri, penolong fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan Rahmat-Nya dengan keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga. 
Telah wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 H."

        Menurut literatur yang ada, belau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
        Sifat lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang,baik sesama muslim atau dengan nonmuslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepriabadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.
        Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan islam secara ruwet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberi Rezeki, yaitu Allah Swt.

       Di kalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta: kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang di dalam islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibbrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia memiliki derajat yang sama. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling taqwa kepadaNya.

       Taqwa itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerakan hidup manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak, orang yang bertaqwa, sekalipun dia kasta Sudra bisa jadi lebih mulia dari pada mereka yang  berkasta Ksatria dan Brahmana.
       Mendengar keterangan itu, mereka yang bersalal dari kasta Sudra dan Waisy merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan hak nya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita.

      Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain.
      Dan untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara. Maka, beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik dan mengembleng para santri sebagai calon mubaligh.
      Pendirian pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan masyarakat hindu yaitu para Bikhu dan pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
      Ini salah satu strategi para Wali yang cukup jitu: orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk pesantren yang  mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring umat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan dari Pesantren Gresik, kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.

      Tradisi pesantren tersebut berlangsung hingga jaman sekarang. Di mana para Ulama menggodog calon mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau, maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.
       Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles, pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya; "Apakah yang dinamakan Allah itu?"
Beliau tidak menjawab Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala surga hambaNya yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya. Jawabannya cukup singkat dan jelas yaitu,  "Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya."
       Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama islam, melainkan juga memberikan pengarahan, agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengaliri lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.

       Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang. Sebagaimana sabda Nabi bahwa kefakiran menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. inilah resep yang harus ditiru.

.
Tamu Dari Negeri Carmain
        Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah sebagian dari wilayah Majapahit. kalau seluruh rakyat sudah memeluk islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.
        Untuk menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama islam.
        Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak prabu Brawijaya masuk agama islam. Pada tahun 1321 M Raja Cermain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama islam.

       Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan negeri Carmain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak karena tidak ada gunanya masuk islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragama seperti itu hanya akan merusak keagungan agama islam.
       Rombongan dari Negeri Carmain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu perbaikan kapal untuk berlayar pulang.
Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran banyak anggota rombongan dari Negeri Carmain yang diserang wabah penyakit. Banyak di antara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.
       Kabar kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi sari kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke desa Leran. Brawijaya sang raja Majapahit itu memerintahkan kepada para punggawa kerajaan untuk mengali kubur dan memakamkan Dewi sari dengan upacara kebesaran. Di desa Leran itu Dewi Sri dikuburkan.
   
       Setelah rombongan dari Negeri Carmain meniggalkan pantai Laren maka Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri di bawah kedaulatan Majapahit.
      Penyerahan daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama islam itu tidak memberontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.
      Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan suka rela. Sesuai dengan ajaran islam yang meganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang bukan muslim yang mau hidup berdampingan dengan aman dalam satu negara.
       Demikian sekilas tenang Syekah Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap sebagai ayah dari Wali Songo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.



Selesai_