Sabtu, 20 Oktober 2012

Sunan Drajad



           Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mearisi ilmu dari ayahnya kemudian di perintah untuk berdakwah di sebelah Barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
           Raden mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu beliau tiba-tiba di hantam oleh ombak yang besar sehinga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwa, tapi bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepadanya. Dengan menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hinga ke tepi pantai.
           Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Belau juga berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat. Untuk itu beliau telah berpesan kepada anak keturunannya agar jangan sampai makan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada obatnya.
            Ikan talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Rden Qosim disambut masyarakat setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putra Sunan Ampel seorang wali besar dan masih terhitung kerabat keraton Majapahit.
             Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yaang datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 kilometer, di sana beliau mendirikan satu langgar untuk berdakwah.
             Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang sebut Dalem Duwur itulah sekarang di bangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Musium tersebut.
              Raden Qosim adalah pendukung aliran Putih yang di pimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku, beliau menganut jalan  lurus , jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama.
             Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah. Di dalam musium yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
            Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan. Dikalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong meraka yang menderita.


Ajaran Sunan Drajad
           Ajaran Sunan Drajad, bersumber dari:  (1). Al Qur'an, (2). Sunnah, (3). Ijma' (4). Qiyas, (5). ajaran guru dan pendidik Sunan Ampel atau orang tuanya, (6).ajaran dan pemikiran, atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat, (7) tradisi masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam, dan (8). Fatwa Sunan Drajad sendiri.
Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:

Menehono teken marang wong wuto
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kan mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang buta
Berilah makan kepada orang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan

             Adapun maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta) Sejahterakanlah kehidupan rakyat yang misin (kurang makan) Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada oarang yang tidak tahu malu atau belum punya beradapan tinggi,  Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingakt dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak keberatan untuk mengamalkannya..
             Tentang puncak ma'rifat Sunan Drajad menuliskan perumpamaannya sebagai berikut:
Ilang jenenge kawula,
sirna datang ana keri,
pan ilang wujudira,
tegese wujude widi
ilang wujude iki,
anenggih perlambangira,
Lir lintang karahinan,
itkasorodan sang hyang rawi,
artinya
hilang jati diri makluk,
lenyap tiada tersisa,
ulah juga wujud Tuhan,
itulah yang ada ini,
adapaun persamaannya,
seperti bintang di waktu siang
yang tersinari matahari
             Di samping terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau juga dikenal sebagai anggota wali songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan ikut pula mendirikan Masjid Demak. Simbol kebesaran umat islam pada waktu itu.
            Di bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending Pangkur. Hingga sekarang geding tersebut masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajad, demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggal disebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajad para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah SWT.





Sabtu, 13 Oktober 2012

Sunan Kudus



          Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini di sebelah untara kota Blora. Didalam Babad Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengait dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang bernama asli Ja'far Sodiq.
          Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka dari Raden Patah yang di bawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.
         Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakanya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan mengempur tentara Majapahit hingga belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.


Guru-Gurunya
           Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Jakfar Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang, dan Sunan Ampel.
          Nama asli Kiai Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jendral Cheng Hoo. Sebagaimana disebitkan dalam sejarah, Jendral Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
         Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.
         Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Jafar Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu.
         Jakfar Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengajar atau mencapai cita-cita. Hal ini beprengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Jakfar Sodiq di masa yang akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
         Selanjutnya Raden Jakfar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.


Cara berdakwah Yang Luwes
 A. Strategi Pendekatan Kepada Masa
             Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:

  1. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
  2. Bagian adat yang tidak sesuai denga ajaran Islam tetapi,
  3. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip.  Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
  4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
  5. Pada akhirnya  boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tidak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran agama Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim
         Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.
         Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromikan.


B. Merangkul Masyarakat Hindu
           Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukanya pekerjaan mudah. Terlebih mereka masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Jakfar Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
           Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumirang) . Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
           Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus.
           Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosayang dikutuk para dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
           Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat, yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melaukai hati rakyatnya sendiri.
          Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat,  baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
         "Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai",  Sunan Kudus membuka suara.  "Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya".
          Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar Sodiq itu titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya,  "Demi hormat saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi !"
           Kontan para penduduk terpesona atas kisa itu.
           Sunan Kudus melanjutkan.  "Salah satu diantara surat-surat Al Qur'an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al Baqarah, "kata Sunan Kudus
           Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di Al Qur'an mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
           Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagum orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendegarkan ceramah Sunan Kudus.


C.  Merangkul Masyarakat Budha
                Sudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha.  Caranya ?  Memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
            Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran di beri arca kepala Kebo Gumirang di atasnya. Hal ini sesuai dengan ajaran Budha "Jalan berlipat delapan" atau "Asta Sanghika Marga" yaitu:
  1. Harus memiliki pengetahuan yang benar
  2. Mengambil keputusan yang benar
  3. Berkata yang benar
  4. Hidup dengan cara yang benar
  5. Bekerja dengan benar
  6. Beribadah dengan benar
  7. Dan menghayati agama dengan benar
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat wudhu. Sehingga mereka berdatangan ke Masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.


D. Selamatan Mitoni
             Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
             Seperti diketahui, rakyat Jawa banyak yang melakukan adat adat aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan yaitu untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islam. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
           Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
          Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan di arahkan dalam bentuk Islam. Acara Selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh di bawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunya Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dam ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al Qur'an.
           Sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya' atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya' yang berbentuk tembang Asmaradana, Pucung dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.

           Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian di ikrarkan (hajatkan di hajatkan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesaji tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.
          Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
          Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangan di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Ini kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat tapi aibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya?  Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.
          Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
          Cerita tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan undangn maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi syarat yang di ajukan Sunan Kudus yaitu dengan nada berang.  "Apa kekurangan mereka?"
         "Anda sendiri yang menyebabkan, "kata Jakfar Sodiq dengan tenang nya.  Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak iklas. Mereka berdoa hanya karena mengaharap hadiah."
          Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu
          Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.

          Bukan main senangnya hati sang Amir, rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Jakfar Sodiq.
          Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untukmenentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibanggunnya di namakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
           Membasuh kaki dan tangannya lebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliau yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Dan dalam tembang-tembang tersebut beliau sisispkan ajaran-ajaran Islam.


E. Sunan Kudus di Negeri Mekah
          Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.Sewaktu berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar di atas. Penguasa Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
         Sudah banyak orang mencoba tapi tak pernah berhasil.
         Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangnnya disambut dengan sinis.

"Dengan apa Tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu ?" tanya sang Amir
"Dengan doa, "jawab Jakfar Sodiq singkat.
"Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukkannya. Di tanah Arab ini banyak ulama dan Syekh-Syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini."
           Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga do'a mereka tidak terkabulkan, "kata Jakfar Sodiq.
          Sungguh berani Tuan berkata demikian,  "kata Amir itu dengan nada berang.
"Apa kekurangan mereka?"
"Anda sendiri yang menyebabkannya,  "kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya.   Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata  hati mereka sehingga doa mereka tidak iklhas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah."
          Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara kkhusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di Negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.
          Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikan bermaksud diberikan kepada Jakfar Sodiq.
Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang  bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.



Kamis, 11 Oktober 2012

Sunan Kalijaga



Diusir Dari Kadipaten
         Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Walatikta. Tumenggung Walitikta sering kali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi raden  Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
        Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
        Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum penjabat Kdipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
        Rakyat  yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadang kala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
        Walau Raden Said  putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terkait oleh adanya adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk-beluk kehidupan rakyat Tuban.
        Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. tapi niat itu tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur'an maka sekarang dia keluar rumah.
        Disaat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sengat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
        Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu sebab Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
        Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu mekin berkurang.
        Ia ingin mengetahuinya sendiri siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
        Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungnnya sendiri.

        Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
      Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal katahuan. ketika ia hendak keluar gudang sambil membawa bahan-bahan makanan , tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said di bawa ke hadapan ayahnya.
       Adipati Walatikta marah melihat perbuatan anaknya itu.  Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.
       Tapi untuk itu Raden Said harus menadapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah.  Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?

        Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?
       Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan penjabat Kadipaten yang curang.
       Hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi karena perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
       Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta penjabat kaya, kemudian pemimpin perampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
      Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya' mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang gadis cantik.
         Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.
         Raden Said berusaha mengakap perampok itu. Namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri . Mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itu si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden said pun menjadi panik dan kebungungan. para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa kerumah kepala desa.
          Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang di balik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam.
          Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungnnya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosanya adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
         Sang kepala desa masih berusaha menutupi aib junjungnnya. Diam-diam ia di membawa raden Said ke istana kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak.
         Tentu saja Adipati menjadi murka. raden Said yang selama ini selalu sayang dan selalu membela anaknya kali membuat naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.

         Pergi dari Kadipaten Tuban ini !.  Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! Pergi !  Jangan   kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur'an yang sering kau baca di malam hari !"
         Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah mentup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang Adipati.
         Hanya ada satu orang yang tidak mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayahnya dan ibunya, dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.


Mencari Guru Sejati
          Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban?  Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman.  Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu , selalu diberikan kepada fakir miskin.
         Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, taidak menyantuni rakyat jelata dan tidak mau membayar zakat.
         Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada orang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
         Terus diawasinya orang berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutlah tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkatnya dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu terjatuh tersungkur.
         Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkialuan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkanya kembali tongkat itu,  "Jangan menangis, ini tongkat mu kukembalikan".
         "Bukan tongkat ini yang ku tangisi", ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya.  "Lihatlah!  Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi".

         "Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?" tanya Raden Said heran.
"Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata kucabut guna makan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!" jawab lelaki itu
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
"Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?"
"Saya menginginkan harta?"
"Untuk apa?"
"Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita".    "Hem, sungguh mulia hatimu, Sayang ...caramu mendapatkan-nya yang keliru".
"Boleh aku bertanya anak muda?" desah orang tua itu,   "Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?"
"Sungguh perbuatan bodoh", sahut Raden Said.  "Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja".
Lelaki itu tersenyum,  "Demikian pula amal yang kau lakukan.  Kau bersedekah dengan yang di dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing."

        Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapanya, "Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal."
       Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa kelirunya perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan Berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
       "Banyak hal yang terkait dalam usaha mengetaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuna mkan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memberi memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!".
        Raden Said semakin terpana ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.  "Kalau kau tidak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!".

         Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak.  Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapinya. Berbagai ilmu aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu menggunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
         Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga mampu merubah pohon aren berubah menjadi emas?
         Selama beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas berkilauan itu.  Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
         Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
         Ucapan orang  itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
         Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
         Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
         Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tempaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
"Tunggu .."ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
"Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid .." pintanya.
"Menjadi muridku ?"tanya orang itu sembari menoleh. " Mau belajar apa ?"
"Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid ".
"Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya ?".

          Lelaki itu kemudian menancapkan tingkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan untuk menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum sebelum lelaki itu kembali menemuinya.
          Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi dan mungkin saja golongan para wali.
          Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said , pemuda itu duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur'an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdo'a kepada Tuhan supaya di tidurkan seperti pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
         Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tidak bisa di bangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya.

         Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian di bawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban?  Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian di beri pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
        Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
        Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan kehidupan.
        Raden Said disuruh menunggui tongkat itu atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
       Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.



Kerinduan Seorang Ibu
        Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Walatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati Ibu Raden Said seketika berguncang.
         Kebetulan setelah ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala rampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkar sudah. Dari pengakuan perampok itu tahuah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
         Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
        Untuk mengobati kerinduan sang ibu. Tak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi yaitu membaca Al Qur'an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.
         Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-ptrin yang sangat dicintainya itu.
         Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan Aipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dengan Empu Supa.
         Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan agama ISlam Di Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru Suci seTanah Jawa, dari petani, penjabat, bangsawan dan raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap Islami.
        Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.  Semoga amal perjuangnya diterima di sisi Allah.