Sabtu, 13 Oktober 2012

Sunan Kudus



          Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini di sebelah untara kota Blora. Didalam Babad Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengait dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang bernama asli Ja'far Sodiq.
          Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka dari Raden Patah yang di bawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.
         Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakanya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan mengempur tentara Majapahit hingga belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.


Guru-Gurunya
           Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Jakfar Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang, dan Sunan Ampel.
          Nama asli Kiai Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jendral Cheng Hoo. Sebagaimana disebitkan dalam sejarah, Jendral Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
         Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.
         Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Jafar Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu.
         Jakfar Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengajar atau mencapai cita-cita. Hal ini beprengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Jakfar Sodiq di masa yang akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
         Selanjutnya Raden Jakfar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.


Cara berdakwah Yang Luwes
 A. Strategi Pendekatan Kepada Masa
             Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:

  1. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
  2. Bagian adat yang tidak sesuai denga ajaran Islam tetapi,
  3. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip.  Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
  4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
  5. Pada akhirnya  boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tidak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran agama Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim
         Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.
         Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromikan.


B. Merangkul Masyarakat Hindu
           Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukanya pekerjaan mudah. Terlebih mereka masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Jakfar Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
           Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumirang) . Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
           Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus.
           Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosayang dikutuk para dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
           Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat, yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melaukai hati rakyatnya sendiri.
          Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat,  baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
         "Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai",  Sunan Kudus membuka suara.  "Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya".
          Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar Sodiq itu titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya,  "Demi hormat saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi !"
           Kontan para penduduk terpesona atas kisa itu.
           Sunan Kudus melanjutkan.  "Salah satu diantara surat-surat Al Qur'an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al Baqarah, "kata Sunan Kudus
           Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di Al Qur'an mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
           Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagum orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendegarkan ceramah Sunan Kudus.


C.  Merangkul Masyarakat Budha
                Sudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha.  Caranya ?  Memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
            Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran di beri arca kepala Kebo Gumirang di atasnya. Hal ini sesuai dengan ajaran Budha "Jalan berlipat delapan" atau "Asta Sanghika Marga" yaitu:
  1. Harus memiliki pengetahuan yang benar
  2. Mengambil keputusan yang benar
  3. Berkata yang benar
  4. Hidup dengan cara yang benar
  5. Bekerja dengan benar
  6. Beribadah dengan benar
  7. Dan menghayati agama dengan benar
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat wudhu. Sehingga mereka berdatangan ke Masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.


D. Selamatan Mitoni
             Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
             Seperti diketahui, rakyat Jawa banyak yang melakukan adat adat aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan yaitu untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islam. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
           Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
          Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan di arahkan dalam bentuk Islam. Acara Selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh di bawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunya Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dam ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al Qur'an.
           Sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya' atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya' yang berbentuk tembang Asmaradana, Pucung dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.

           Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian di ikrarkan (hajatkan di hajatkan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesaji tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.
          Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
          Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangan di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Ini kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat tapi aibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya?  Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.
          Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
          Cerita tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan undangn maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi syarat yang di ajukan Sunan Kudus yaitu dengan nada berang.  "Apa kekurangan mereka?"
         "Anda sendiri yang menyebabkan, "kata Jakfar Sodiq dengan tenang nya.  Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak iklas. Mereka berdoa hanya karena mengaharap hadiah."
          Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu
          Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.

          Bukan main senangnya hati sang Amir, rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Jakfar Sodiq.
          Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untukmenentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibanggunnya di namakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
           Membasuh kaki dan tangannya lebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliau yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Dan dalam tembang-tembang tersebut beliau sisispkan ajaran-ajaran Islam.


E. Sunan Kudus di Negeri Mekah
          Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.Sewaktu berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar di atas. Penguasa Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
         Sudah banyak orang mencoba tapi tak pernah berhasil.
         Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangnnya disambut dengan sinis.

"Dengan apa Tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu ?" tanya sang Amir
"Dengan doa, "jawab Jakfar Sodiq singkat.
"Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukkannya. Di tanah Arab ini banyak ulama dan Syekh-Syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini."
           Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga do'a mereka tidak terkabulkan, "kata Jakfar Sodiq.
          Sungguh berani Tuan berkata demikian,  "kata Amir itu dengan nada berang.
"Apa kekurangan mereka?"
"Anda sendiri yang menyebabkannya,  "kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya.   Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata  hati mereka sehingga doa mereka tidak iklhas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah."
          Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara kkhusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di Negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.
          Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikan bermaksud diberikan kepada Jakfar Sodiq.
Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang  bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar