Kamis, 11 Oktober 2012

Sunan Kalijaga



Diusir Dari Kadipaten
         Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Walatikta. Tumenggung Walitikta sering kali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi raden  Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
        Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
        Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum penjabat Kdipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
        Rakyat  yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadang kala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
        Walau Raden Said  putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terkait oleh adanya adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk-beluk kehidupan rakyat Tuban.
        Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. tapi niat itu tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur'an maka sekarang dia keluar rumah.
        Disaat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sengat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
        Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu sebab Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
        Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu mekin berkurang.
        Ia ingin mengetahuinya sendiri siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
        Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungnnya sendiri.

        Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
      Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal katahuan. ketika ia hendak keluar gudang sambil membawa bahan-bahan makanan , tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said di bawa ke hadapan ayahnya.
       Adipati Walatikta marah melihat perbuatan anaknya itu.  Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.
       Tapi untuk itu Raden Said harus menadapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah.  Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?

        Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?
       Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan penjabat Kadipaten yang curang.
       Hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi karena perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
       Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta penjabat kaya, kemudian pemimpin perampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
      Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya' mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang gadis cantik.
         Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.
         Raden Said berusaha mengakap perampok itu. Namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri . Mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itu si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden said pun menjadi panik dan kebungungan. para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa kerumah kepala desa.
          Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang di balik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam.
          Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungnnya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosanya adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
         Sang kepala desa masih berusaha menutupi aib junjungnnya. Diam-diam ia di membawa raden Said ke istana kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak.
         Tentu saja Adipati menjadi murka. raden Said yang selama ini selalu sayang dan selalu membela anaknya kali membuat naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.

         Pergi dari Kadipaten Tuban ini !.  Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! Pergi !  Jangan   kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur'an yang sering kau baca di malam hari !"
         Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah mentup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang Adipati.
         Hanya ada satu orang yang tidak mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayahnya dan ibunya, dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.


Mencari Guru Sejati
          Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban?  Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman.  Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu , selalu diberikan kepada fakir miskin.
         Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, taidak menyantuni rakyat jelata dan tidak mau membayar zakat.
         Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada orang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
         Terus diawasinya orang berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutlah tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkatnya dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu terjatuh tersungkur.
         Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkialuan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkanya kembali tongkat itu,  "Jangan menangis, ini tongkat mu kukembalikan".
         "Bukan tongkat ini yang ku tangisi", ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya.  "Lihatlah!  Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi".

         "Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?" tanya Raden Said heran.
"Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata kucabut guna makan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!" jawab lelaki itu
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
"Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?"
"Saya menginginkan harta?"
"Untuk apa?"
"Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita".    "Hem, sungguh mulia hatimu, Sayang ...caramu mendapatkan-nya yang keliru".
"Boleh aku bertanya anak muda?" desah orang tua itu,   "Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?"
"Sungguh perbuatan bodoh", sahut Raden Said.  "Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja".
Lelaki itu tersenyum,  "Demikian pula amal yang kau lakukan.  Kau bersedekah dengan yang di dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing."

        Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapanya, "Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal."
       Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa kelirunya perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan Berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
       "Banyak hal yang terkait dalam usaha mengetaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuna mkan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memberi memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!".
        Raden Said semakin terpana ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.  "Kalau kau tidak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!".

         Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak.  Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapinya. Berbagai ilmu aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu menggunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
         Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga mampu merubah pohon aren berubah menjadi emas?
         Selama beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas berkilauan itu.  Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
         Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
         Ucapan orang  itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
         Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
         Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
         Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tempaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
"Tunggu .."ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
"Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid .." pintanya.
"Menjadi muridku ?"tanya orang itu sembari menoleh. " Mau belajar apa ?"
"Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid ".
"Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya ?".

          Lelaki itu kemudian menancapkan tingkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan untuk menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum sebelum lelaki itu kembali menemuinya.
          Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi dan mungkin saja golongan para wali.
          Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said , pemuda itu duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur'an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdo'a kepada Tuhan supaya di tidurkan seperti pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
         Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tidak bisa di bangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya.

         Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian di bawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban?  Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian di beri pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
        Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
        Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan kehidupan.
        Raden Said disuruh menunggui tongkat itu atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
       Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.



Kerinduan Seorang Ibu
        Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Walatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati Ibu Raden Said seketika berguncang.
         Kebetulan setelah ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala rampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkar sudah. Dari pengakuan perampok itu tahuah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
         Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
        Untuk mengobati kerinduan sang ibu. Tak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi yaitu membaca Al Qur'an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.
         Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-ptrin yang sangat dicintainya itu.
         Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan Aipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dengan Empu Supa.
         Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan agama ISlam Di Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru Suci seTanah Jawa, dari petani, penjabat, bangsawan dan raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap Islami.
        Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.  Semoga amal perjuangnya diterima di sisi Allah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar