Sabtu, 08 September 2012

Sunan Ampel




       Kenalkah anda dengan daerah Bukhara?, Bukhara terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah yang Samarqand dikenal sebagai daerah islam yang  menelorkan "Ulama-ulama" besar seperti sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadist sahih.
       Di Samarqand ini ada ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi'i, beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Smarqand maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Oranh jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
      Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jumalluddin Jumadil Kubra untuk berdak'wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, beliau kemudian diambil menantu oleh Raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.

     Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan. Para pangeran atau bangsawan kerajaan, pada waktu itu mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat menjadi Raden.
       Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
       Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden  Hasan atau lebih dikenal dengan Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.

     Sesudah kerajaan Majapahit ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Brawijaya Kartabumi.
      Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukkan. Prabu Brawijaya sadar betul apabila kebiasaan semacam itu diteruskan maka negara akan menjadi lemah, jika negara sesudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
       Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada suaminya. "Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam mengatasi kemerosotan budi pekerti, " kata ratu Dwarawati
"Betulkah ?" tanya sang prabu.
"Ya, namanya Sayyid Rahmatullah, putra dari Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini."
       "Tentu saja aku merasa senang bila Rama Prabu Cempa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini." kata Raja Brawijaya.


2.  Ke Tanah Jawa
        Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke Negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira Raja Cempa dan dia tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
        Keberangkatan Sayyid Ali  ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asamarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat ke Tuban. Tetapi Tuban, tepatnya di Desa Gresikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk Kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
       Kemudian Sayyid Murtadho meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat sebutan Raja Pandita Bima, dan akhirnya beliau berdak'wah di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.

      Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatangnya disambut dengan suka cita oleh Prabu Kartabumi, lebih-lebih lagi oleh bibinya yang bernama Ratu Dwarawati, wanita ini memeluknya erat-erat, seolah sedang memeluk kakak perempuannya  yang berada di istana Cempa. Wajah keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya.
       "Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?" tanya sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab, "Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.
      "Bagus!" sahut sang Prabu. Bila demikian kau akan ku beri hadiah sebidang tanah dan bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar memiliki budi pekerti yang mulia."
       "Terima saya haturkan Gusti Prabu," jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di sitana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja majapahit.
       Semenjak Sayyid Ali RAhmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah angota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden yang berarti tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
 

3.  Ampeldenta
          Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut sebagai Ampeldenta.
         Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo, terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwahnya yang pertama kali dilakukanya cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarnya dengan kalimat syahadat.
        Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang. terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada saat demikian ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesui tingkatan pemahaman mereka.
      Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning. Pada saat itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas sekarang ini. Di sana-sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahnya Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dam mendirikan tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut sekarang telah diubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.
        Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu, Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.
        Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit-demi sedikit tentang pentingnya    ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
        Setelah sampai di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah, ini meneladani apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw saat pertama kali di Madinah.
        Dan karena beliau menetap di Desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut, kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan, artinya Yang di Junjung Tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi.
        Selanjutnya beliau mendirikan Pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa sja yang mau datang berguru kepada beliau.


4.  Ajarannya Yang Terkenal
         Hasil didikan beliau yang terkenal adalah Falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu:
1.  Moh Main atau tidak mau berjudi
2.  Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukkan
3.  Moh Maling atau tidak mau mencuri
4.  Moh Madat atau tidak menghisap candu, ganja dan lain-lainnya
5.  Moh Madon atau tidak mau berzina/ main perempuan yang bukan istrinya.

       Parabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang terakhir di Majapahit.
       Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh Wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmat juga memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.


5.  Sesepuh Walisongo
          Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pimpinan agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.
          Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Songo mengantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak Majapahit.

         Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar itu sesungguhnya sudak keropos dari dalam, tidak usah diserang oleh Demak Bintoro pun sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel terlalu lamban dalam memberikan nasihat kepada Raden Patah.
         "Mengapa Ramanda berpendapat demikian?" tanya Raden Patah yang terhitung menantunya sendiri. "Karena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putra Raja Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani menyerang ayahhandanya sendiri," jawab Sunan Ampel dengan tenang.
         "Lalu apa yang harus kita lakukan?"
         "Kau harus bersabar menunggu sembari menyusun kekuatan", ujar Sunan Ampel."  Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari dalam. Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku putra Prabu Kertabumi.
         "Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkewajiban membelanya?"
"Inilah ketentuan Tuhan", sahut Sunan Ampel." Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah peristiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu," kata Sunan Ampel. Karena Sunan Ampel adalah Penasehat Politik Demak Bintoro, dan merangkap sebagai Pimpinan Wali Songo atau Mufti agama se-Tanah Jawa. Maka fatwanya dipatuhi semua orang.
          Kekuatan Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di kemudian hari ternyata ada orang-orang yang membenci Islam, memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majaphit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang Rajanya adalah putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini dapat anda lihat di dalam Serat Darmo Gandul maupun sejarah yang tertulis Sarjana Kristen pembenci Islam.
          Raden Patah dan para wali lainya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali dan pemimpin agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia menyetujui usul Aliran Tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
         Mengapa Sunan Giri bersikap demikian?
         Karena pada tahun 1478 Kerajaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardana dari Kadipaten Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putra Raja Majapahit yang terakhir.

          Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang Prabu Udara pada tahun 1498.
          Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukanya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi peperangan akan menderita kekalahan maka dia minta kerjasama dan minta bantuan Portigis di Malaka. Padahal Putra Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun 1511 telah menyerang Portugis di Malaka.
         Sejarah telah mencatat Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk menemui Alfonso d'Albuquerque untuk menyerahkan hadiah 20 genta (gamelan), sepotong kain panjang bernama   "Beirami"   tenunan Kambayat, 13batang lembing yang ujungnya berisi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang, Prabu Udara sebagai pimpinan perampas tahta Majapahit secara tidah sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit, tentu bangsa Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat dari pada bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya. Raden Patah diangkat sebagai Raja Demak yang pertama.
        Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama Masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

        Beliau pula yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon atau Tulisan Arab berbunyi Bahasa Jawa. Dengan huruf Pegon ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga sekarang huruf Pegon tetap dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan Pesantren.



6.  Penyelamat Aqidah
             Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini di dukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah diusulkan dalam permusyawaratan para Wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat-istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel. "Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid'ah?.
             Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, "Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa kemudian hari akan ada orang yang menyempurnakannya.
            Adanya dua pendapat yang seakan betentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit-demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.

          Sebaiknya, adanya pendapa Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid'ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.
          Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.


7.  Murid-Murid Sunan Ampel
             Sebagaimana disebutkan di muka murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Wali Songo adalah murid-murid beliau sendiri.
             Kali ini kami tampilkan kisah dua orang murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:


Kisah Mbah Soleh
           Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan luar biasa.
           Ada sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia di kubur hingga sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Di sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah Soleh.
            Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu Masjid Ampel dimasa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di Masjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya.
            Ketika Mbah Soleh wafat beliau di kubur di depan masjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai masjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh masjid itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel, " Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih."
           Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seleuruh lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.
           Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikuburkan di samping kuburanya yang dulu. Masjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu, Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan kuburan yang terakir berada di ujung paling timur.
         Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdoa di depan makam Mbah Soleh.


Kisah Mbah Sonhaji
             Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya?  Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokkan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah luar biasa.
             Kisahnya demikian. Pada waktu pembangunan Masjid Agung Ampel, Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman masjid itu tidak menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan paengimaman itu jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya.
             "Apa betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?"   demikian tanya orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji.
             Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata,  "Lihatlah ke lubang ini, kalian akan tau apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?".
             Oarang-orang itu segera melihat ke lubang yang dibuat Sonhaji. Tenyata di lubang itu mereka dapat melihat Ka'bah yang berada di Mekah. Orang-orang pada melongo, terkejut , kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Sonhaji lagi. Dan sejak saat itu mereka bersikap hormat kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.




Selesai_


1 komentar:

  1. Certia yang menarik sekali, jaman sekarang jarang orang membuat blog seperti ini ..
    terima kasih atas cerita nya bermanfaat sekali.

    BalasHapus