Selasa, 25 September 2012

Sunan Giri



            Di awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.
            Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sesudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
            Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pagebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran badad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
           Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
          Permaisuri makin sedih hatinya, Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari petapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.
          Diiringi  beberapa prajurit pilihan, Patih Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para petapa biasanya tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
          Patih Bajil Sengara akhirnya betemu dengan Resi Kanabaya yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksut adalah Syekh maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan.

         Patih Bajul Sangara dapat bertemu dengan Syekh Maulana  Ishak yang sedang bertafakur di sebuah goa. Stelah terjadi negoisasi bahwa Raja dan Rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama islam maka Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang ilmu ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pagebluk juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
     

Hasutan Sang Patih
           Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
           Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Parabu sudah mengadakan teror pada Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk kadipaten yang di pimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali ke agama lama. Walaupun kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
           Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk meninggalkan Blambangan.
           Demikian, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar parjurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara segera menerobos masuk Wilayah kadipaten yang sudah ditinggalkn Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih kecele walau seluruh istana di obrak-abrik dia tidak menemukan Syekh Maulana Ishak.
           Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya meresa senang dan bahagia melihat kehadiran cucu yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain dari yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.
           Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkan bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara bikin ulah lagi.
           "Bayi itu! Benar gusti Prabu!  Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu! " kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
            Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tidak bosan-bosannya menteroro dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Parbu terpengaruh juga.
            Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk di buang ke samodra.


Joko Samodra
             Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintas selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
             Nahkoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkin perahunya membentuk batu karang. Setelah di periksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan meyimpan barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Di atas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang tuanya yang tega membuang bayi ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperikemanusiaan.
            Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan  pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu  tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu di putar dan diarahkan ke Gresik teryata perahu itu melaju dengan pesatnya.
             Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal nakoda berkata sambil membuka peti itu. "Peti ini yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,"  kata sang nakoda.
"Bayi ...? Bayi siapa ini, "gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
"Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali, jawab nahkoda kapal.
             Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra.
             Ketika umur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rhamat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Sampdra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Amel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentransi dalam mempelajari agama Islam.

             Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahajjud, mendo'akan murid-muridnya dan mendoakan umat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
            Tiba-tiba Radhen Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.
             Esok harinya, sesudah sholat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
"Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?"  tanya Sunan Ampel.
"Saya kanjeng Sunan ..." acung Joko Samodra.
             Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makain yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra.
            Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di temukan di tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih.
            Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat di hormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.


Raden Paku
         Sewaktu mondok di Pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
        Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman.
Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.
         Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira , penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tek pernah melihat anaknya sejak bayi.
         Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinantih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
         Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya saat berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
         Di Negeri Pasai banyak ulama besar dari negara asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainya.
         Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Di samping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.

        Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga ketara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana A'inul Yaqin.
        Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberikan sebuah bungkusan kain putih  berisi tanah.
       "Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun Pesantren, "Demikian pesan ayahnya.
        Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Piantih.


Membersihkan Diri
        Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
       Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintahkan membawa barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah kapal merapat ke Pulau Banjar, Raden Paku membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
       Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, "Raden kita pasti akan mendapatkan murka Nyai Ageng Pinantih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?"
       "Jangan kuatir Paman, tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkan ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka?. Saya kira belum, nah sekarang lah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri", kata Raden Paku.
        "Itu diluar wewenang saya Raden, "kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng di hantam ombak dan badai?"
         Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
         "Paman tak usah risau, "kata Raden Paku dengan tenangnya. "Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
          Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih.

          Dugaan Abu Hurairah memang tepat. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.
"Sebaiknya ibu lihat lebih dahulu!" pinta Raden Paku.
"Sudah, jangan banyak bicara , buang saja pasir dan batu itu.Hanya mengotori karung-karung kita saja!" hardik Nyai Ageng Pinatih.
         Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, seperti rotan, damar, kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar